Saat membayangkan sudut favorit di rumah, banyak orang akan langsung menunjuk kamar tidur, ruang keluarga, atau dapur yang cozy. Tapi bagi seorang arsitek, “sudut favorit” bukan hanya soal kenyamanan fisik—melainkan juga tentang pengalaman ruang yang menyentuh secara emosional.
Ini adalah ruang yang menghadirkan jeda, menenangkan ritme harian, dan sering kali tak disadari kehadirannya. Kadang posisinya hanya lorong, kadang cuma selasar kecil, atau bahkan area tangga yang penuh pantulan cahaya. Tapi di situlah letak kekuatan arsitektur: menyelipkan momen berarti di tempat yang tampak sederhana.
Menurut banyak arsitek, ruang transisi seperti foyer, selasar, teras, atau void justru punya tempat istimewa dalam desain rumah. Ini adalah ruang ‘di antara’—antara luar dan dalam, antara bising dan tenang, antara fungsional dan emosional.
Foyer yang menyambut, selasar yang membawa angin, void yang menyalurkan cahaya alami—semuanya menciptakan atmosfer yang tidak bisa digantikan oleh ruang utama. Mereka bekerja secara halus, tanpa banyak dekorasi, tapi berdampak besar pada suasana rumah secara keseluruhan.
Karena ruang transisi menawarkan pernapasan visual. Mereka bukan ruang yang sibuk atau penuh fungsi, tapi menjadi tempat refleksi, titik diam dalam alur rumah yang dinamis.
Ruang seperti ini juga kaya akan nilai naratif. Misalnya: selasar panjang bisa menjadi metafora perjalanan harian; foyer menjadi zona adaptasi antara dunia luar dan dalam; void membawa langit ke tengah rumah. Di sinilah arsitek merasa bebas bermain dengan cahaya, bayangan, tekstur, dan arah pandang—tanpa harus terikat fungsi praktis yang kaku.
Beberapa contoh nyata yang sering jadi “ruang favorit” versi arsitek antara lain:
Ruang-ruang ini jarang difoto, jarang dibanggakan, tapi selalu menjadi tempat kembali bagi penghuni rumah—secara batin.
Bahwa rumah bukan hanya soal ruang besar, mewah, atau penuh fasilitas. Justru ruang-ruang kecil, transisi, dan penuh nuansa—yang paling memberi makna.
Arsitektur yang baik adalah tentang menyusun pengalaman hidup, bukan sekadar meletakkan fungsi. Ruang transisi mengajarkan kita bahwa rumah ideal tak harus selalu sibuk. Kadang, yang paling berarti adalah ruang yang memberi kita ruang untuk berhenti sejenak, bernapas, dan merasakan. (Alfiansyah/Sibambo Studio)